Senin, 01 April 2024

MENGENAL LEBIH DEKAT PORDJO ABDULGHANI

Menuliskan riwayat hidup sosok yang sudah tiada merupakan pekerjaan yang amat susah, kalau tidak dikatakan mustahil karena tidak ditemukan dokumen, piagam, akta kelahiran maupun dokumen apa pun yang dapat dijadikan rujukan.  Maka satu-satunya sumber penulisan hanyalah mengandalkan penuturan  dan kesaksian anak cucu yang masih ada. 

Suatu yang lebih mempersulit adalah para saksi ini pun tidak pernah bertemu dengan Eyang Pordjo. Akan tetapi hanya berdasar cerita para ayah ibu mereka. Sudah pasti penulisan riwayat hidup yang dihasilkan dari metode seperti ini jauh dari akurat. Barangkali jika dulu Eyang Pordjo tahu kalau anak cucunya akan menyusun biografi dirinya tentu beliau meninggalkan catatan riwayat hidup yang rinci. Namun demikian tidak berarti kami para cucu jadi apatis terhadap sosok yang telah menjadi perantara kelahiran kami ke dunia. Sebagai keturunan, kami wajib sedapat  mungkin mengenal lebih dekat siapa Eyang Pordjo, untuk dapat meneladani keluhuran budinya.

Salah satu saksi yang masih hidup dan ingatannya masih segar adalah Ny Siti Khomsiyah. Kini di tahun 2017 ini usianya memasuki 75 tahun. Meskipun sudah sepuh dan memorinya terbatas beliau masih mampu menuturkan sekelumit cerita tentang sosok Pordjo Abdulghani. Ny Siti Khomsiyah merupakan cucu dari salah satu anak Eyang Pordjo, yaitu anak perempuan dari Bapak Martowidjoyo. Ny Khomsiyah sendiri tidak pernah bertemu Eyang Pordjo kakung. Namun beliau di masa kecilnya sempat bertemu dan berinteraksi dengan Eyang Pordjo putri. Informasi yang dimilikinya lebih banyak dari penuturan dari kedua orangtuanya, yaitu Bapak dan Ibu Martowidjoyo.  Informasi itu pun hanya berupa beberapa penggalan cerita yang diperoleh dengan cara khas, yaitu kebiasaan “bocah kecil” yang menguping pembicaraan ayah-ibunya.  Inilah satu-satunya sumber dari tulisan ini. Sayangnya tidak semua informasi yang berhasil dikorek layak dijadikan bahan penulisan. Sehingga hanya dengan sumber-sumber yang amat minim inilah riwayat hidup tersebut dituliskan.

MASA HIDUP & LINGKUNGAN TINGGAL 

Dengan cara mengasumsikan dan pencocokan beberapa fakta, diperkirakan Pordjo Abdulghani hidup antara pertengahan abad 19 hingga awal 20 atau antara 1850-an hingga 1930-an.  Bisa diketahui masa-masa itu tidak seperti zaman sekarang ketika alam sangat menyehatkan untuk kehidupan karena masih bersih dari berbagai pencemaran lingkungan sebagai dampak dari kemajuan teknologi.

Tempat tinggal beliau di Dusun Pabongan, Desa Berjo, sebuah kawasan di lereng barat Gunung Lawu. Sebuah lingkungan tempat tinggal yang tenang. Dalam perpaduan dua aspek inilah yang Eyang Pordjo hidup berkeluarga membesarkan anak-anak dalam suasana yang kondusif. Dalam lingkungan seperti inilah Eyang Pordjo menjalani hidup yang sejahtera. Pordjo Abdulghani dikaruniai lima anak, yaitu Yusuf Harso Suwito, Danu Martowijoyo, Surisman Iman Bukhori, Kusiyem, dan Tumiyem. Kelima anak itulah para leluhur kita, kakek nenek kita. Manusia-manusia yang telah dipilih oleh Allah SWT menjadi perantara hadirnya kita di dunia.

KONDISI FISIK 

Untuk memperoleh gambaran seperti apa kondisi fisik Eyang Pordjo, kita bisa melihat kondisi fisik anak cucunya. Karena sesuai teori yang berlaku umum, gen seseorang akan menurun kepada anak-anaknya dalam keadaan yang kurang lebih sama. Keadaan fisik para cucu seperti almarhum Bapak Padmo Suharto, Bapak Suhardi Siswo Suharto, dan Bapak Syarengat Budi Santoso dan anak cucunya yang lain semasa hidupnya merupakan orang-orang yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan bobot yang seimbang. Kesehatan mereka bisa dikatakan relatif bagus dalam arti tidak penah mengalami gangguan kesehatan yang parah meskipun mereka hanya mengkonsumsi makanan apa adanya karena tidak selalu menemukan makanan dengan kandungan gizi tinggi. Mereka mengisi hari-hari dengan kerja keras mengelola sawah dan ladang menyebabkan tubuh mereka sehat dan menjadi tameng dari timbulnya penyakit.  Dengan mengamati postur tubuh dan kebugaran para cucunya,  kita dapat menduga tubuh Eyang Pordjo itu tegap serta mempunyai kesehatan yang prima.

KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Narasumber tidak bisa menjelaskan apakah Eyang Pordjo sempat mengenyam pendidikan baik formal maupun informal. Juga tidak ada cerita yang menjelaskan apakah beliau memiliki kemampuan baca tulis. Namun nara sumber memastikan bahwa dalam kebidupan bermasyarakat Pordjo Abdulghani pernah menduduki jabatan lurah atau semacam pamong desa. Di zaman sekarang pun,  orang yang menduduki jabatan lurah membuktikan dia mempunyai  prestasi. Dengan kata lain, Pordjo Abdulghani merupakan seorang tokoh masyarakat di zaman dan lingkungannya di samping tokoh-tokoh lain seperti ulu-ulu, modin, atau bekel. Jika dilihat sejarah tahun-tahun kehidupannya yang  merupakan masa-masa kekuasaan kerajaan Kasunanan Surakarta,  berarti Lurah Pordjo Abdulghani diangkat oleh Kanjeng Sinuwun ke IX dari Surakarta dengan Beselit. Berdasarkan literatur,  jabatan pamong desa pada masa itu tidak digaji dari penguasa atasnya, tetapi mendapat sebidang tanah yang dapat digarapnya sebagai kompensasi bagi pekerjaannya yang disebut tanah bengkok. 

Konon tanah bengkok yang menjadi haknya berlokasi di sekitar Dusun Babadan. Konsep jabatan pamong desa erat berkaitan dengan konsep otonomi desa di Jawa, yang telah berlaku semenjak periode Hindu-Buddha dan bahkan mungkin sejak periode sebelumnya. Nara sumber mengisahkan berdasarkan penuturan sang ayah bahwa salah satu pekerjaan Lurah Pordjo adalah mendistribusikan bantuan bahan pangan untuk rakyat. Sebelum didistribusikan bahan bantuan seperti beras digelar di ruang belakang yang disebut mah ndopo hingga memenuhi ruangan. Kemudian orang-orang berdatangan untuk nyadong jatah. Sepeninggal Eyang Pordjo jabatan Lurah dilanjutkan oleh Martowijoyo.

MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO

Mikul Dhuwur Mendhem Jero merupakan sebuah petuah Jawa yang kurang lebih berarti kewajiban seorang anak yang harus mengangkat tinggi keluhuran budi orang tua atau leluhurnya dan menyembunyikan rapat-rapat segala cacat dan aibnya. 

Sebagai anak turunnya kita perlu memegang teguh petuah  ini. Jika kita mengetahui ada hal-hal yang baik pada diri Eyang Pordjo perlu kita ikuti dan mengajarkannya kepada anak-anak kita. Sebaliknya jika ada cacat dan aib cukup kita simpan dan jangan pernah menceritakannya kepada pihak lain. Demikian pula bagian kisah yang lain yang dituturkan nara sumber yang menyebutkan konon Eyang Putri Pordjo orangnya galak dan pelit. Galak hendaknya dilihat sebagai sebuah metode ketegasan dalam mendidik anak cucunya. Galak tak lebih sebagai ekspresi dalam berkomunikasi. Sedangkan pelit juga tidak selalu memiliki  konotasi negatif, tetapi merupakan wujud dari cara mengatur pengeluaran atau ekonomi keluarga. Sering terjadi Eyang puteri menggunakan payung kertas (karena masih jarang payung dari nilon, kain atau plastik) dan bila menggunakannya tidak membukanya lebar sempurna supaya payung kertas tersebut lebih awet tentunya agar tidak sering membelinya. Ada dua hal lain yang sering dilakukan oleh Eyang Pordjo putri. Pertama, sebagai keluarga lurah jelas Eyang Pordjo tidak kekurangan beras sebagai bahan makanan sehari-hari. Akan tetapi menurut riwayat, Eyang putri tidak memasak beras kalau masih ada menir (beras pecah). Bahkan beliau tidak memasak menir kalau masih punya bekatul (serbuk beras). Kedua, di ruang pawon Eyang pordjo penuh dengan kayu bakar yang tersusun rapi untuk memasak karena belum ada kompor minyak apalagi kompor gas. Akan tetapi, Eyang putri tidak menggunakan kayu bakar itu kalau masih mempunyai berambut (sekam) atau campuran kulit gabah dengan rambut hasil sosohan. Sebagai anak cucu, kita bisa mencontoh cara keluarga Eyang Pordjo mengatur pengeluaran yang hemat dan tidak boros.

Dengan mengenal sosok Pordjo Abdulghani  kita meneladani hal-hal berikut:

1. Kita harus mengisi hidup dengan karya yang bermanfaat bagi orang lain.

2. Kita harus pandai dan bijak mendidik dan memberikan tanggung jawab kepada anak-anak kita

3. Harus cermat dalam mengelola keuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar